Surat-surat Petrus, murid yang secara langsung merasakan pedihnya penganiayaan dan rapuhnya iman—karena pernah menyangkal Yesus tiga kali—tidak dipenuhi dengan manifesto politik atau seruan untuk berperang. Sebaliknya, 1 & 2 Petrus menyampaikan urgensi yang berbeda: desakan untuk “hidup kudus” di tengah penderitaan. Pesannya adalah tentang keteguhan batin, kekuatan komunitas yang dibentuk melalui penderitaan, tentang iman yang bukan hanya bertahan, tetapi juga mengubah ketika menghadapi kesulitan. Seperti yang ditulis Petrus kepada para orang percaya mula-mula yang mengalami kesulitan, “Hendaklah kamu menjadi kudus dalam seluruh hidupmu,” (1 Petrus 1:15a, BIMK) karena Allah yang memanggil mereka adalah kudus.
Namun, dalam bahasa apa mereka mendengar panggilan Allah itu?
Ajakan Petrus untuk “menjadi kudus” bukanlah penerimaan pasif terhadap ketidakadilan; ia sendiri bukan orang asing terhadap konfrontasi ketika inti imannya dipertaruhkan. Tetapi, dorongan Petrus kepada orang Kristen yang dianiaya—khususnya dari kelompok bahasa minoritas di India—akan kehilangan kekuatannya jika mereka tidak mampu memahami secara utuh makna dari 1 Petrus 3:15–16: bagaimana mungkin membela imanmu jika kamu tidak benar-benar memahami dasar dari pengharapan yang ada di dalam hatimu?
Pesan ini melampaui penderitaan khusus umat Kristen minoritas di India. Di tengah meningkatnya penganiayaan di Asia Selatan dan bangkitnya nasionalisme keagamaan, seruan untuk “hidup kudus” memperoleh makna baru — bagi kita semua.