Di panggung besar kekuatan global, tempat kekuatan ekonomi dan strategi geopolitik kerap merebut sorotan, ada drama yang lebih hening tengah berlangsung—narasi yang tidak terukir dalam perjanjian dagang, melainkan di dalam hati manusia. Dan terkadang, untuk memahami arus yang membentuk kawasan sekompleks dan sepenting Asia Timur, kita perlu mendengarkan nasihat dari abad-abad yang lampau.
Suara Samuel—yang mencatat transisi penuh gejolak Israel dari konfederasi suku menjadi kerajaan dalam 1 dan 2 Samuel—berbicara dengan otoritas yang mengejutkan terhadap lanskap spiritual Asia Timur modern. Terutama bagi jutaan orang Kristen yang menapaki jalan iman dari kelompok bahasa minoritas.
Kisah Samuel, pada intinya, adalah tentang hubungan penting antara Tuhan dan anak-anak-Nya.
“Lalu datanglah Tuhan dan berdiri di sana, dan seperti yang sudah-sudah Ia memanggil, ‘Samuel! Samuel!’ Dan Samuel menjawab, ‘Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar.'” – 1 Samuel 3:10 (BIS)
Jika Tuhan memanggil kita secara intim, Ia juga akan berbicara secara pribadi—dalam bahasa yang bisa kita, hamba-hamba-Nya, “dengar” dengan jelas dan akurat di dalam hati.
Kita mungkin tak lagi hidup di “masa ketika tidak ada raja di Israel” dan setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri (Hakim-Hakim 21:25), namun kini kita dapat berlindung di bawah sayap Tuhan dan menerima ganjaran penuh atas apa yang telah kita lakukan (Rut 2:12)—karena kamu telah memberi satu ayat. Maka, bagaimana jika hari ini kamu memberi satu *pasal?
(*Rata-rata jumlah ayat dalam satu pasal: 44)